Resensi - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Rabu, 23 Januari 2013

Resensi


Berhati-Hatilah dengan Kecantikan Anda!

Judul               : Cantik itu Luka
Penulis             : Eka Kurniawan
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal               : isi 539 halaman
Di akhir masa kolonial, seorang perempuan dipaksa menjadi pelacur. Kehidupan itu terus dijalaninya hingga ia memiliki tiga anak gadis yang kesemuanya cantik. Ketika mengandung anaknya yang keempat, ia berharap anak itu akan lahir buruk rupa. Itulah yang terjadi, meskipin secara ironik ia memberinya nama si Cantik.
Itulah kutipan belakang novel Eka Kurniawan. Novel dengan latar cerita zaman PKI ini sangat rapi bersentuhan dengan sejarah. Sebagaimana Eka tidak ragu untuk menyebutkan tokoh-tokoh non-fiksi dalam novelnya.
Cerita yang berawal dari kelahiran anak keempat seorang pelacur bernama Dewi Ayu, novel ini mengulas cerita beraroma tempoe doeloe. Alur campuran yang lugas pun menjadi suatu ketertarikan dari novel ini. Bagaimana perjalanan Dewi Ayu membangun sejarah keluarganya di Halimunda, kota hantu PKI yang menjadi daerah wisata. Seolah memperkenalkan dengan rinci seluruh tokoh-tokohnya, pembaca dibuat berfikir dan menyusun potongoan-potongan cerita kehidupan Dewi Ayu.
Walaupun Dewi Ayu seorang pelacur nomor satu di Halimunda, namun tak satu pun dari keempat anaknya yang ia didik menjadi pelacur—setidaknya hingga anak keempat lahir dan ia meninggal­—. Dengan kecantikan Indo-Belanda yang dimiliki, dan tingkat ketenangan yang tinggi telah menjadikan Dewi Ayu sebagai perempuan yang tegar walaupun lingkungan bak mata pisau memandangnya.
Anak pertamanya, Alamanda, adalah hasil pelacuran pertamanya dengan tentara-tentara Jepang. Zaman perang waktu itu memaksa Dewi Ayu dan para gadis lainnya yang semula dibujuk untuk menjadi relawan kesehatan, ternyata malah menjadi ‘relawan kasur’. Dewi Ayu bertemu dengan seorang germo, ia menamai dirinya Mama Kalong. Mungkin garis takdir telah menarik nasib Dewi Ayu untuk bekerja pada Mama Kalong. Dan demikianlah, Dewi Ayu menjadi pelacur primadona Mama Kalong yang telah berganti-ganti nama rumah pelacuran.
Lalu anak keduanya, Amanda, sedikit berbeda dengan kakaknya yang memiliki darah Jepang, namun Amanda pun cantik. Begitu pula dengan Maya Dewi, anak ketiga Dewi Ayu yang kata orang adalah yang tercantik dari ketiganya. Kecantikan ketiga anak Dewi Ayu pun kelak akan menjadi sejarah kelam bagi Halimunda. Tanah kelahirannya.
Tidak perlu ditanya lagi berapa laki-laki yang rela mati demi ketiga gadis pelacur Mama Kalong ini. Namun, sekali lagi, dengan alur yang terbilang sulit ditebak, pembaca akan meraba setiap kejadian juga sejarah yan diciptakan setiap tokoh.
Untuk di Cantik, anak keempat Dewi Ayu, yang sekali pun tak pernah bertemu ibu dan ketiga kakaknya sangat berbeda nasibnya. Sampai Dewi Ayu bangkit dari kematiannya pada umut ke 52 untuk menyelesaikan ‘masalah’ yang disebabkan masa lalu sejarah keluarga, tidak kaget dengan kehadiran sang ibu. Dewi Ayu kembali dengan membawa tekad dan pesan yang disampaikan melalui buah pikiran cucunya, Krisan. Yakni : “Cantik itu luka.”
“Cantik itu luka”, seperti yang menjadi dialog Krisan dalam akhir cerita dapat menjadi renungan bagi para wanita. Bahwa memang segala sesuatu itu, jika tidak tepat penggunaannya pastilah akan berbuah celaka. Contohnya pada fisik. Bagaimana anak-anak Dewi Ayu memanfaatkan kecantikannya, baik secara positif maupun negatif. Namun dengan kemasan ‘mistis’ yang dihadirkan dalam cerita ini, kecantikan seolah menjadi kutukan dalam keluarga Dewi Ayu.
Terlepas dari plot cerita, novel ini sebaiknya dikonsumsi oleh kalangan dewasa. Mengingat pilihan kata dan perangkaiannya sedikit ‘dalam’ dan imajinatif. Namun, hal yang dapat dipetik dari isi novel ini adalah justru bagaimana kita mempelajari sejarah. Bagaimana kita melihat kehidupan lain di zaman perang sebelum kemerdekaan. Tidak hanya paparan sejarah perang seperti yang ada dalam buku-buku pelajaran sejarah pendidikan. Justru dengan penggambaran epik Eka Kurniawan inilah sebuah perjuangan rakyat Indonesia di pedalaman dapat terlihat. Juga sisi lain dari PKI yang selama ini menjadi ikon negatif di era reformasi.
Yang menarik dari karya ini, selain telah dicetak sebanyak dua kali. Yaitu pada tahun 2004 dan 2006. naskah novel ini juga telah dipentaskan secara monolog oleh Maya Sekartaji dalam acara Ulang Tahun Milis Apresiasi-Sastra di Japan Foundation 16 Februari 2008 lalu. (Ilda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar