Cerpen - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Rabu, 23 Januari 2013

Cerpen


Allah Merindukanku
Oleh : Erwin Hadinata (XIII)*



Suara derap langkah-langkah kaki di atas jalan beraspal bergema siang itu. Lafaz tauhid dikumandangkan. Orang-orang beriringan memapah sebuah keranda yang dipayungi payung warna hitam. Hawa panas, debu berterbangan naik ke udara tertiup angin panas. Matahari enggan bersembunyi dibalik awan, ia seakan senang gembira menyaksikan hal itu. Langit biru cerah mewarnai upacara pemakaman, angin siang bertiup membawa hawa panas yang membelai kulit-kulit para pengiring jenazah. Ingin rasanya berteduh menghindarinya. Di dalam keranda, sesosok jasad tertidur pulas kaku tak bergerak. Pakaian serba putih. Aroma kapur barus memenuhi udara dalam keranda. Sebanyak tujuh ikatan melilit di sekujur tubuhnya. Jasad yang dahulu seorang pemimpin di kampung itu kini sedang mengalami fase ketiganya menuju alam kekekalan. Keranda diturunkan. Jasad tua itu ditidurkan di liang peristirahatan terakhirnya. Suara adzan dikumandangkan di kala wajahnya dibuka dari kain putih. Pucat pasi. Ada sedikit raut bahagia pada jasad itu. Ia seakan gembira akan segera bertemu dengan penciptanya. Adzan selesai dikumandangkan. Saatnya tiba. Papan-papan kayu di tutupkan sepanjang seluruh tubuhnya. Tanah kini akan menimbunnya. Meninggalkan kehidupan dunia menuju alam selanjutnya. Gelap. Tanah kini telah menutup semua liang lahatnya.
***
Sakit selama 44 hari membuatnya menyerah, sebenarnya tidak. Ia tahu waktunya sudah tiba. Jauh sebelum hari ini tiba, ia terbaring lemas di atas lasah tempat tidurnya. Ia mengalami mimpi yang aneh. Ia didatangi almarhum ayahnya yang sebelumnya sudah tiada. Dia bingung dan takut. Sejenak ia berfikir apakah ini merupakan tanda-tanda sang Khalik sedang merindukannya? Keringat dingin bercucuran. Membasahi sekujur tubuh yang kulitnya sudah mulai keriput. Dia terbangun di tengah malam yang sunyi. Sepertiga malam. Dia menghela nafas panjang. Lafadz istighfar keluar dengan tersendat-sendat diiringi batuk yang memecah keheningan malam.  Batuk yang beberapa hari ini membuatnya agak sedikit terganggu. Ia bangkit dari tempat tidur, walau badan yang pegal sulit diajak untuk kompromi. Dia berjalan agak renta menuju sumur di belakang rumahnya. Udara yang sedingin es langsung menerpa wajahnya yang sudah mulai keriput. Segera ia membuka tutup bong yang sudah berlumut berwarna hijau tua. Air mengalir deras menuju kedua tangannya. Ia kemudian berwudhu. Rasa kantuk tak sedikitpun membuatnya meninggalkan sunnah nabi. Ia menengadah ke langit menghadap ke arah kiblat. Berdo’a. Langit begitu cerah malam itu. Bintang bertaburan sejauh mata memandang. Subhanallah. Maha Besar Allah yang telah menciptakan alam semesta yang begitu indah ini. Untuk kesekian kalinya ia mengucapkannya. Mungkin tak terhitung banyaknya. Ia masih merasa takut dengan mimpinya itu.
“Allahuakbar,” dalam sujud renungnya ia berdo’a, “Ya Allah, Engkau Yang Maha Kuasa atas semua mahlukMu. Maka jika Engkau hendak mengembalikanku ke haribaanMu, kembalikan aku dalam keadaan khusnul khatimah.” Dua rakaat yang panjang. Ia tertunduk dalam kekhusyukkan. Merenungi perbuatannya selama ini. Takut dengan amalnya tidak cukup saat ia kembali pulang. Takut jika Sang Pencipta melemparnya ke neraka Jahannam. Bulir-bulir air mata jatuh menimpa sarung kotak-kotaknya. Tangan yang keriput di penuhi urat-urat menandakan ia seorang pekerja keras di masa mudanya menengadah ke atas. Mengharapkan ampunan dari Sang Maha Pengampun. Malam itu begitu sunyi. Hanya terdengar suara mahluk-mahluk malam mengeluarkan suaranya menciptakan suasana malam yang khas. Tak terasa dua jam lamanya ia tenggelam dalam do’anya. Suara adzan Subuh menggema menandakan hari akan segera beranjak. Rona-rona merah mulai terlihat dari ufuk timur. Kelihatannya si raja hari akan segera muncul menerpa hamparan bumi membawa cahaya kehidupan. Ia segera beranjak dari tempatnya berjalan menuju rumah Allah. Berkumpul bersama orang-orang yang sabar dalam beribadah.
“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya’ dan sholat Subuh. Sekiranya mereka mengethaui apa yang terkandung di dalamnya, niscaya mereka akan mendatangi keduanya (berjamaah di masjid) sekalipun dengan merangkak”. (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Ba’da sholat Subuh, ia merasa sekujur tubuhnya sangat kedinginan. Ia berjalan pulang melewati setapak jalan berdebu. Embun pagi itu semakin membuat tubuhnya seperti terbungkus es. Bibirnya tak henti-henti bertasbih. Cahaya dari langit belum menerangi tanah. Masih remang-remang. Lembab berembun. Setetes embun jatuh dari langit yang biru bersih, turun kemudian singgah di ruas-ruas daun bunga sepatu menuruni alur tangkai pohonnya dan luruh terjatuh ke tanah berdebu. Lenyap.
***
Selimut membantu menghangatkan tubuh rentanya. Aroma secangkir teh di atas meja menerawang hingga ke ujung hidungnya. Ia mencoba bangkit dari perbaringannya hendak meneguk teh yang biasa ia nikmati. Secangkir teh buatan istrinya yang setia mendampingi hingga penghujung hidupnya. Jari-jari tangannya bergetar memegang cangkir teh. Tangannya tak kuasa menopang cangkir berisi air teh itu. Kraannkk! Suara itu mengagetkan istrinya. Sontak ia bergegas menemui sang suami. Terlihat ia sedang kedinginan, menggigil sampai-sampai bibirnya bergetar. Puing-puing pecahan cangkir berserakan. Air teh yang kemerahan bersimbah membasahi lantai semen. Mengundang semut-semut mengerumuninya. Raut wajah wanita tua itu segera berubah. Rasa khawatir segera memenuhi relung jiwanya. Segera ia dipapah menuju ke perbaringannya. Ia terlihat kelelahan. Wajahnya pucat pasi. Kedua bola matanya terlihat berlinangan air mata. Baru kali ini ia merasa seperti itu. Tubuh renta nan lemah itu kini tak bisa apa-apa. Hanya berbaring lemah tak berdaya. Kini segala aktivitas yang biasa ia lakukan sendiri dibantu oleh istri dan anak-anaknya. Setidaknya ia tidak terlalu merepotkan orang lain. Setiap kali waktu sholat tiba, ia tidak pernah sekalipun meninggalkan kewajibannya ini. Semakin hari ia merasa keadaannya semakin lemah. Tak sekalipun ia mengeluh. Ia semakin bersyukur dengan keadaannya saat ini. Dengan begitu ia bisa lebih mendekatkan diri dengan Sang Khalik.
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. (QS Ali Imran – 145)
***
Raja siang dan malam silih berganti, rona-rona jingga di ufuk barat terlihat indah. Senja yang basah. Bumi baru saja disirami oleh langit. Tanah yang berdebu kini telah hilang. Daun-daun baru tumbuh serentak menghijaukan pohon-pohon yang telah lama menantikan karunia sang ilahi. Sebulan sudah berlalu. Ia kini sudah pasrah dengan keadaannya. Saudara, kerabat, sahabat, dan sanak keluarganya datang silih berganti menjenguknya. Ucapan maaf selalu ia lontarkan dari bibir kering yang terlihat kaku dan pecah-pecah itu kepada siapa saja yang datang menemuinya. Ia tidak ingin meninggalkan kesalahan-kesalahan yang pernah ia lakukan selama ini. Ia ingin pulang dalam keadaan bersih. Bersih dari dosa-dosa.
Burung-burung kembali ke sarangnya. Penghujung langit barat merah jingga. Matahari perlahan tenggelam di balik gunung. Adzan magrib berkumandang. Empat puluh tiga hari berlalu. Selama itu ia mendengarkan adzan di perbaringan. Suara adzan yang begitu menyentuh. Memanggil insan-insan untuk segera berkumpul di rumah Allah. Berlomba-lomba mencari ridho ilahi. Angin senja menerpa pepohonan. Menimbulkan suara gesekan-gesekan dedaunan. Membawa hawa sejuk senja itu. Sesosok cahaya putih terang terbang di udara. Terbang bak kilat. Aromanya begitu semerbak. Memikat apapun yang dilewatinya. Sosok yang begitu indah. Perlahan menukik ke sebuah gubuk kecil. Masuk melalui celah kecil jendela kayu. Mengagetkan seorang insan yang tengah berbaring lemah. Jantungnya mendadak berdetak hebat bukan main. Sekujur tubuh rentanya bergetar dahsyat. Namun, sosok cahaya putih itu menghiburnya dengan sebuah senyuman. Senyuman yang begitu menawan. Seumur hidup baru kali ini ia melihat senyum yang begitu indahnya.
“Wahai hamba Allah yang sabar. Berbahagialah di hari kepulanganmu ini. Seluruh penjuru langit tengah menanti kedatanganmu. Janganlah kau bersedih hati meninggalkan keluargamu, karena mereka akan selalu dalam lindungan Allah. Ini adalah buah kesabaranmu selama ini. Maka bergembiralah engkau”, seru sosok putih itu.
Setelah mendengar perkataan sosok cahaya itu, hatinya menjadi tenang. Ia ingin segera bertemu dengan penciptanya. Maka mendekatlah sosok putih nan bercahaya itu di hadapannya. Tiba-tiba ia merasakan sakit yang begitu sangat pedih di kedua kakinya, kemudian menjulur ke perut dan sampai di tenggorokkannya.
“Laaaiilaaahaillallaaaahhh…. Muhammadurrosulullaaaahhhh…” Ia menemukan dirinya tengah bersama sosok putih itu di sampingnya. Ia melihat ke bawah, seorang manusia tua nan renta tengah terbaring tak bernyawa di lasah tempat tidurnya. Ia sangat bersedih melihat jasad itu. Seluruh keluarganya mengelilingi jasad itu, terlihat raut wajah mereka bersedih pula berlinangan air mata. Namun, ia melihat ada senyum yang merekah di bibir jasadnya itu sebelum di tutup kain. Selesai sudah perjalanannya di dunia. Kini, sang malaikat akan membawanya ke langit, menuju Sang Pencipta. Cahaya putih itu hilang sekejap menuju langit membawa jiwa insan sholeh bertemu dengan sang Khalik yang merindukannya.
***
Tujuh hari setelah kepulangannya, tanah kuburan yang basah di terpa angin pagi. Menjatuhkan bunga-bunga kamboja berwarna putih dan terjatuh di atasnya. Harum semerbak baunya. Harum aroma nikmat kubur yang kini ia dapatkan. Semoga kau tenang di alam sana wahai insan yang dirindukan Ilahi dan mendapatkan tempat yang terbaik di sisi-Nya. Aamiin.
*Penulis adalah Mahasiswa Bastrindo’11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar