Indonesia Jaya kah? - LPM Pena Kampus

Goresan Penamu Runtuhkan Tirani

Breaking

Minggu, 03 Juni 2018

Indonesia Jaya kah?

Give me some sunshine …

Give me some rain …

Give me another chance, I wanna grow up once again …

 

        Bunyi musik menggema di seantero kota. Penduduk terbengong-bengong menyaksikannya. Beberapa orang berlalu-lalang sambil menggaruk ketiak. Beberapa orang lagi yang sedang memperbaiki antena televisi. Musik dengan volume tinggi menghentak dari balai kota. Semua orang terheran-heran. Tidak biasanya bapak wali kota begitu. Orang-orang berkumpul di depan halaman gedung balai kota. Mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.

       ‘Brukk’ Pintu mendadak terbuka dan berdirilah sang wali kota di sana. Ia adalah seorang laki-laki tua berumur 70-an. Rambutnya dipenuhi uban. Alis dan bahkan jenggotnya juga. Pakaiannya tidak terurus. Kemeja putih dengan satu kancing paling atas rusak. Celananya ia lipat sebelah. Di tangannya terlihat sebotol arak berwarna keabu-abuan. Sepertinya ia sedang mabuk. Wajahnya merah seperti tomat. Matanya sayu dan sipit. Ia menceracau tidak karuan.

“Ah, sepertinya bapak butuh segelas air, kupikir.” Seorang anak SMP berceletuk dengan suara rendah.

“Aku? Aku tidak butuh apa-apa, Bocah! Aku tidak butuh apa-ap…” sebelum ia menyelesaikan kalimatnya ia terjatuh, dengan kepala lebih dulu, dan tentu saja, tidak sadarkan diri.

        Bapak wali kota mulai siuman di sebuah klinik. Matanya terbuka perlahan. Dipandangnya sekeliling. Dilihatnya warga kota dengan tatapan khawatir mengelilinginya dan kemudian ia menangis tersedu-sedu. Air matanya jatuh berlinang. Hidungnya merah. Tak dapat dibendungnya lagi air matanya itu.

“Huhuu.. huhuu..” ia menangis sesegukan. Seperti balita yang baru direbut mainannya.

“Hari ini tepat 50 tahun tragedi itu terjadi. Aku benar-benar tidak bisa melupakan hari itu. Ya Tuhann… bangsaku… Negaraku…” Tangisannya terdengar pilu. Warga-warga di sekitarnya beberapa juga turut menangis.

“50 tahun sudah. semenjak kita dikucilkan di sini, diabaikan. dilupakan.” Tangisnya sedikit mereda.

        Waktu berpindah 50 tahun yang lalu, di sebuah negara dengan kekayaan alam melimpah. Gugus-gugus pulau mengitarinya. Nusantara sebutannya. Indonesia. Tahun 2050 Indonesia sedang dipuncak-puncaknya. Bukan dalam masa primanya. Pancasila sedang di ujung tanduk. Negara dibombardir ideologi-ideologi. Kala itu sudah banyak suara-suara yang menentang. Pancasila hampir tidak bisa dipertahankan. Yang nantinya memang tidak bisa dipertahankan.

        Inflasi ekonomi merajalela, bahkan makin menjadi-jadi. Rakyat kaya semakin kaya. Rumah dibangun bertingkat-tingkat. Rakyat miskin diberi area terisolir. Pencopet, perampok, pembunuh bermunculan hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, kebutuhan perut. Kerusakan moral, pengikisan nilai-nilai dan norma-norma semakin menambah keterpurukan. Indonesia yang diimpikan jaya, malah timbulkan musibah.

         Perang saudara mulai timbul dimana-mana. Aceh, Papua, Sumatera, Nusa Tenggara. Indonesia kala itu darurat kepercayaan, darurat ideologi. Perselisihan menambah masalah semakin mencekam. Indonesia di akhir masa jaya. Terombang-ambing layaknya perahu di tengah badai.

        Daerah-daerah tertentu mulai memiliki ideologi sendiri. Sosialis, komunis, semua ideologi yang merasa benar bermunculan. Sumatera Barat yang pertama kali mengangkat bendera sendiri. Memutuskan untuk berdaulat dan berdiri sendiri. Memutuskan untuk berpisah dari Indonesia. disusul Maluku, Aceh, Madura. Mereka berbondong-bondong mengangkat bendera sendiri.

        Presiden menangis kala itu. Menangis sambil tangan di bawah meja menerima uang yang bukan dari hasil kerja. Sesekali diusapnya air matanya yang dari balik tangan bisa dilihat ia tersenyum durjana.

“Aku sudah berusaha semampuku.” Katanya

        Daerah-daerah lain tidak tinggal diam. Riau dan Bangka Belitung memutuskan untuk berkiprah di bawah bendera Singapura. Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat Berserikat mengedepankan asas norma. Papua berhasil merdeka, Sumbawa pun menuntut jaya. Indonesia kocar-kacir. Ibu pertiwi menangis meraung-raung. Melihat anak-anaknya memutuskan diri untuk pergi meninggalkannya setelah susah payah ia lahirkan mereka ke dunia.

         Jangan bertanya kemana perginya para ulama. Mereka yang pertama kali mengangkatkan kaki minggat meninggalkan Indonesia. Mereka membangun negara sendiri. Negara dengan ideologi islam, yang sesuai dengan keinginan mereka. Negara ini gabungan dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali. Bagaimana bisa, Bali itu mayoritas beragama Hindu bukan? Tentu saja semua bisa terjadi dengan perang. Penganut agama Hindu diusir dari tanah mereka sendiri. Ada yang lari ke Lombok, Madura, dan bagi yang melawan mereka akan dibantai. Indonesia telah melahirkan orang-orang seperti mereka. Jadi jangan terlalu kaget.

         Jakarta bagaimana? Kita hampir lupa dengan ibukota, Jakarta. Jakarta kala itu amis dan busuk. Di sana dijadikan sarang dari tikus-tikus. Semua jenis tikus bisa ditemukan disana. Selain dari itu, pelacuran meningkat pesat. Kriminalisasi. Jakarta sama seperti halnya kota para penjahat. Dari kota inilah awal dari pemberontakan dimulai. Rakyat yang tidak puas dengan perlakuan para pejabat pemerintah meringsek maju dan menguasai kota Jakarta. Para pejabat dibunuh, entah itu yang korup maupun yang bersih. Apakah mereka senang? Mereka lega? Tidak. mereka ingin menuntut lebih. Setelah di sana mereka menunjuk presiden dari golongan mereka sendiri untuk memimpin negara dan jadilah Indonesia kini. Terpecah dan saling benci.

       Kembali pada masa sekarang. Bapak wali kota mengusap matanya yang berair. Tangisannya sudah berhenti. Tapi ingusnya masih menghias di kedua lubang hidungnya. “Kala itu semua tidak bisa diajak berkompromi. Manusia-manusianya sudah terlalu pintar. Jadi susah, diluruskan.” Bapak wali kota berbicara pelan sambil mengusap ingusnya dengan sapu tangan. Di sampingnya terlihat seplastik martabak. Dimakannya sepotong sambil tetap mengusap hidungnya.

“Bapak sedih sekali. Mungkin sekarang hanya beberapa dari kalian yang masih ingat dengan jelas insiden kala itu. Ketika perang terjadi. Pembunuhan dimana-mana. Pembantaian. Indonesia seperti kembali dijajah, meskipun yang menjajah adalah diri mereka sendiri.” Sesekali dilahapnya martabak yang sedang ia pegang. Habis satu diambilnya lagi potongan kedua.

       Beberapa warga ikut mengusap mata dan ingus. Beberapa lagi ada yang berpura-pura kelilipan. Di luar jendela klinik berdiri kokoh Monas (Monumen Nasional). Ah.. atau yang dulunya adalah Monas. Puncak emasnya sudah tidak ada. Di tempat seharusnya ia berada digantikan oleh sebuah kubah alumunium penyok kusam yang bahkan sudah tidak berkilau lagi.

       Bapak wali kota menghela napas panjang. Mungkin meratapi nasib Indonesia kini yang sudah tidak tahu arah. Atau hancur? Ia tersenyum simpul sedikit. Berusaha menenangkan warga-warga yang berkerumun di sekitarnya. Untuk sekedar informasi saja. Klinik tempat bapak wali kota sedang dirawat sekarang hanya terdiri dari satu ruangan besar ukuran 7 x 7 meter. Jadi beberapa warga muat masuk di dalamnya.

        Ia kemudian bangun. Beberapa potong martabak sudah cukup mengembalikan tenaganya. Seorang ibu dengan keranjang sayur membantunya berdiri. Ia hampir terjatuh sebelum seorang anak SMP meraih tangannya dan membantu ia berjalan. Ia tersenyum pelan. Namun itu tidak menutupi garis-garis kesedihan yang terpancar dari wajahnya.

“Aku ingin mengumumkan sesuatu. Bolehkah kita semua berkumpul dan bertemu di halaman kantor wali kota?”

Seorang bapak-bapak dengan kemeja lusuh mengangguk pelan dan berjalan keluar klinik dengan tergesa-gesa. Semua warga juga segera berhamburan keluar.

        Bapak wali kota berdiri tegap di depan kerumunan warganya. Tanpa mimbar. Tanpa ajudan ataupun protokol. Hanya dia sendiri. Sendiri.

“Selamat Siang para wargaku tercinta. Izinkanlah saya berbicara di depan kalian sekarang bukan atas nama wali kota, ah maaf, bukan wali kota. Sebagai presiden Indonesia yang sah melainkan atas nama pribadi saya sendiri. Sudah hampir 50 tahun perpecahan terjadi di antara kita. Hingga sekarang yang tersisa hanya kita, yang bahkan tidak pantas dianggap sebagai sebuah negara. Hari ini saya sudah mulai paham, dan sadar bahwa Indonesia sudah saatnya menjadi sejarah kembali. Di saat Sumatera, Kalimantan, Sulawesi sudah tak memandang muka Indonesia, muka ibu pertiwi. Akan menjadi pilihan yang tepat apabila Indonesia kita bubarkan sekarang juga. Saya sebagai Presiden Indonesia ke-XX memutuskan hari ini, Jakarta 21 Mei 2100 membubarkan negara Indo…” bapak walikota terpeleset dan jatuh dengan kepala lebih dulu. Kemudian semua tiba-tiba gelap. Gelap. dan …

         Terang. Maksudku ah sial, terlalu silau. Aku mengusap mata perlahan dan memandang sekitar. Dinding ruangannya biru pucat. Poster Alexandra Daddario terpampang di balik pintu. Cukup vulgar pikirku. Di samping lemari terdapat rak komik. Banyak sekali komik. Meja belajar dan komputer yang masih menyala. Gambar Alexandra Daddario juga bergerak-gerak di monitor. Sesaat aku tersadar. Aku sedang di kamarku sendiri. Ah tentu saja, jangan bilang semua yang terjadi tadi hanyalah mimpi. Dan… sesuatu bergerak di sampingku. Bergelung di dalam selimut biru laut milikku. Rambutnya terurai di pangkal selimut. Seorang wanita. Sepertinya aku baru saja selesai bercinta. Aku bangun perlahan.

“Mimpinya terasa nyata sekali.” Aku bergumam sendiri. Kulirik wanita di sampingku.

        Aku mencoba berdiri. Badanku terasa linu-linu. Kuregangkan tanganku dan menghirup udara sebanyak mungkin. Aku mengedarkan pandangan disekitarku, mencoba melupakan mimpi aneh yang kualami sebelumnya.

“memangnya kenapa kalau Indonesia berpecah? Tidak ada untung ruginya buatku. Lagipula yang tadi itu hanya mimpi. Mimpi itu bunga tidur, begitu kata dosenku.” Aku berbicara sendiri sambil melirik wanita yang masih tertidur lelap di bawah selimutku. Aku berjalan keluar ruangan menuju dapur. Masih dalam keadaan telanjang. Aku teringat aku hanya tinggal sendirian. Orang tuaku di tempat jauh. Jadi aku bebas melakukan apa saja di sini, tidak ada yang melarang. Termasuk membawa perempuan manapun dan bercinta dengannya semauku.

         Aku membuka kulkas dan meminum beberapa botol air mineral. Menambah kembali tenagaku. Sesaat sebelum kuteguk, mataku menangkap sesuatu.

“Hoh… Arak ya? Aku tidak ingat pernah membelinya. Tapi boleh juga.” Kuambil ia dan meneguknya sedikit. Rasanya sedikit asam. Tapi tidak buruk. Lalu aku membawanya kembali ke kamarku. Menenggaknya beberapa teguk lagi sambil tersenyum puas. Aku berjalan kembali ke ruang tengah. Moodku sedang bagus. Kuputar lagu favoritku.

       Give me some sunshine.. Give me some rain..

        Aku mencari pakaian bersih yang masih bisa ku kenakan. Hanya sehelai kemeja putih kusam milikku yang kutemukan sisa kupakai semalam. Kancing paling atasnya sudah rusak dan hampir copot. Mungkin karena si wanita pasanganku bercinta tidak sabaran waktu melepasnya semalam. Kukenakan saja kemeja itu. Kupungut celanaku asal-asalan dan melipatnya sebelah. Aku berjalan kearah pintu keluar sambil memegang botol arakku di tangan kanan. Sepertinya aku mulai sedikit mabuk. Kubuka pintu perlahan, kemudian melangkah keluar dengan tergesa-gesa. Entah mengapa aku semakin mabuk.

Mataram, 2018

**Oleh : Adil Triyadi
Mahasiswa PBSID semester akhir

1 komentar: